MOTIVASI LUAR BIASA DAHSYAT

PENDIDIKAN WIRAUSAHA SEBAGAI ALTERNATIF PEMBEKALAN ANAK

Sebenarnya tidak ada kamus 'menganggur' dalam agama islam. Rejeki pun telah Allah tebarkan di muka bumi ini. Tinggal kita, sebagai umat manusia yang harus berikhtiar menjemputnya dengan berbagai cara secara halal. Saya yakin, semua orang menyutujui pendapat di atas. Namun yang terberat merealisasikannya adalah masalah mental yang bersangkutan untuk mempunyai aksi nyata dalam hal penjemputan rizki tersebut. Berbicara masalah mental, hampir sama dengan membicarakan fisik, sikap, serta daya pikir seseorang. Kita tidak bisa mempunyai kualitas mental tertentu tanpa membentuknya dari awal. Disini, peran orang tua dan juga lingkungan sangat dibutuhkan. Beberapa saat yang lalu, saya diminta panitia workshop enterprenership mahasiswa salah satu universitas di kota ini, sebagai salah satu nara sumber pada acara tersebut. Saya sangat salut melihat semangat anak muda yang mempunyai minat dibidang wirausaha. Kebetulan sesi itu saya dipanelkan dengan salah satu mahasiswa teknik UMS yang menang lomba karya ilmiah dibidang teknologi terapan. Saya datang sebelum acara dimulai. Dibawah mimbar, terlihat beberapa mahasiswa memilah-milah tumpukan proposal. Saya pun tergerak untuk melihatnya. Tumpukan itu ternyata kumpulan proposal kegiatan usaha yang telah dirintis beberapa mahasiswa yang membentuk suatu jaringan usaha tertentu. Saya kagum dan bersyukur, mahisiswa-mahasiswa tersebut membuat alternatif kegiatan yang bisa membuat mereka mandiri secara ekonomi. Saya pikir, sudah selayaknya para mahasiswa diusianya yang memasuki fase dewasa tersebut mempersiapkan sebuah kemandirian ekonomi. Kita semua cukup prihatin ketika sebuah data menyebutkan pengangguran di Indonesia sebanyak 11 juta jiwa. Itu hanya tercatat oleh pemerintah. Kemungkinan angka itu bertambah banyak , karena adanya dark number yang luput dari pendataan pemerintah. Sedangkan pemerintah sendiri hanya bisa menyediakan lapangan kerja sebanyak 1 juta setiap tahun (Membabat Virus Nganggur,2007). Darimana kita akan mendapatkan selisih angka sebesar 10 juta tersebut? Kiat tidak bisa berpangku tangan mengandalkan 'belas kasihan' dari pemerintas atas nasib perekonomian kita ini. Kalau kita sempat menyaksikan beberapa acara job fair yang diadakan di kamus-kampus, animo peminat sangat besar. Terkadang 1 buah lowongan pekerjaan diperebutkan oleh ratusan pelamar. Kalau kita hanya menunggu adanya sodoran lowongan, mungkin umur dan tenaga akan sia-sia. Kenapa banyak pengangguran disini dan kenapa pula banyak orang lebih siap jadi karyawan daripada harus menjalankan sebuah usaha?. Kalau kita kurikulum pada sekolah umum, jarang ada suatu kurikulum yang menyertakan pendidikan kewirausahaan bagi para siswa. Pada saat saya menanyakan hal ini pada seorang keponakan yang menempuh pendidikan di pesantren pun, ternyata juga tidak ada pendidikan khusus kewirausahaan (mungkin lain sekolah, lain kebijakan kurikulum). Dengan kondisi semacam ini, patutlah kiranya kalau generasi yang tercetak lebih siap menjadi karyawan. Jika keadaan menuntunya bertindak alternatif (misalnya lowongan pekerjaan tidak sesuai) maka hal yang dilakukan adalah menunggu, menunggu dan menunggu. Pernah suatu ketika saat saya menyaksikan job fair dalam salah satu tayangan televisi swasta. Ketika salah satu pelamar diwawancarai, ternyata yang berasal dari sebuah PTN yang bergengsi di negeri ini, dan lebih memprihatinkan lagi, ia adalah alumni tahun 2002 ! (Masyaallah, selama kurang lebih 6 tahun, apa yang ia kerjakan?). Sebenarnya tidak ada kamus 'menganggur' dalam agama islam. Rejeki pun telah Allah tebarkan di muka bumi ini. Tinggal kita, sebagai umat manusia yang harus berikhtiar menjemputnya dengan berbagai cara secara halal. Saya yakin, semua orang menyutujui pendapat di atas. Namun yang terberat merealisasikannya adalah masalah mental yang bersangkutan untuk mempunyai aksi nyata dalam hal penjemputan rizki tersebut. Berbicara masalah mental, hampir sama dengan membicarakan fisik, sikap, serta daya pikir seseorang. Kita tidak bisa mempunyai kualitas mental tertentu tanpa membentuknya dari awal. Disini, peran orang tua dan juga lingkungan sangat dibutuhkan. Menilik grafik pengangguran semakin meningkat (apalagi saat ini krisis ekonomi melanda seluruh perekonomian yang ada, sehingga banyak perusahaan yang melakukan efisiensi/mem-PHK karyawan), maka perlu kiranya kita semua mulai berbenah diri. Tidak ada alternatif lain, kecuali membekali generasi muda (anak) dengan pendidikan kewirausahaan. Pendidikan ini sangat penting, karena akan mengajari bagaimana kita membidik peluang, menciptakan peluang, dan menjalankan sebuah usaha. Alangkah baiknya jika peran orang tua serta pihak sekolah bisa seiring sejalan membimbing anak dalam hal ini. Mengapa kurikulum tentang kewirausahaan perlu? Ada beberapa alasan tentang hal ini, yaitu: 1. Mengasah jiwa kepimpinan anak. Seorang wirausahawan pastilah mempunyai mental self directed. Mereka mampu mengatur dirinya sendiri untuk selalu berkarya. 2. Mengajarkan anak untuk selalu berfikir alternatif. Sebelum melakukan suatu usaha, seorang wirausahaan pastilah menganalisa beberapa peluang usaha, sebelum memutuskan usaha apa yang cocok baginya. 3. Mendidik anak untuk selalu memikirkan sebuah resiko. Jika dalam menjalankan sebuah usaha tanpa pemikiran yang matang, pastilah akan merugi. Mental yang akan diasah disini adlah mental sebagai pemenang, dan yang lebih penting lagi adalah mental bagaimana caranya bangkit dari keterpurukan (jika gagal menjalankan usaha). 4. Membina mental anak untuk bersikap ulet, gigih, tekun, serta telaten. Pendapatan dari pelaku usaha sangat tergantung dari besarnya usaha yang dilakukan. Pelaku usaha tidak dapat mendapatkan uang bulanan yang besarnya pasti setiap bulannya (seperti karyawan). Maka sangat diperlukan sikap mental seperti diatas untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kita semua yakin, semua orang pasti mempunyai bakat serta minat yang berbeda. Namun mencuplik pendapat Dr. Nashih Ulwan, pakar dan penulis buku parenting, beliau menyatakan sangat penting membekali anak dengan berbagai ketrampilan. Hal ini dikarenakan orang tua tidak bisa memastikan masa depan anak seperti apa. Kita, sebagai orang tua hanya bisa membekali berbagai ketrampilan, sehingga apabila terjadi hal-hal diluar kendali kita (orang tua meninggal, atau tidak memperoleh pekerjaan), anak bisa lebih mandiri. Sebelum memberikan bekal pendidikan kewirausahaan bagi anak, penting kiranya saat ini, para oarang tua dan pendidik, juga masyarakat luas, merubah paradigma bahwa menjadi pelaku usaha tidaklah buruk. Pelaku usaha merupakan salah satu profesi yang patut dibanggakan pula. Kita bisa menilik riwayat Rosulullah dan para Sahabat yang mayoritas menjadi wirausahawan. Ternyata Roulullah pun berabda bahwa 9 dari 10 pintu rizki datangya dari perdagangan. Nah, jika Rosulullah 'menggaransi' proporsi dunia perdagangan dibandingkan dengan profesi yang lain lebih besar, mengapa kita ragu atau malu melakukannay???. Penulis buku “Membabat Virus Nganggur”

Search site