MOTIVASI LUAR BIASA DAHSYAT

SOEDARJO

   	 SOEDARJO

Pengusaha Dermawan dan Bersahaja


Pengusaha dan tokoh pers nasional, Soedarjo, meninggal dunia di kediamannya Jalan Wijaya 1/67, Jakarta Selatan, dalam usia 83 tahun, Rabu 18 Januari 2006, pukul 16.05. Mantan Pemimpin Umum Harian Suara Pembaruan kelahiran Jakarta 19 Desember 1922, itu dikenal sebagai sosok pengusaha yang dermawan dan bersahaja.

 

Penganut agama Kristen berdarah Jawa-Sunda-Betawi, yang akrab dipanggil Pak Darjo, itu meninggalkan seorang istri, Soekini (78), lima putra, dua putri, dan 19 cucu. Setelah dilakukan kebaktian di rumah kediaman Jalan Wijaya 1/67, Jakarta Selatan, sekitar pukul 20 (18/1), kemudian jenazah almarhum disemayamkan di rumah putri tertua Sudarniati Soedajo, Jalan Brawijaya II No 18 Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan di Gereja Kristen Indonesia, Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Kemudian dimakamkan Jumat 20 Januari 2006 pukul 11.00 di Taman Pemakaman Umum Jati Petamburan.

 

Mantan Presiden Direktur PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara Pembaruan, itu pernah mengecap pendidikan HIS, AMS, dan pendidikan khusus perkeretaapian untuk menjadi kepala stasiun, dan sempat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai 1951.

 

Putera bangsa kelahiran Jakarta, 19 Desember 1922 dari pasangan Soerjadi dan Atmawati, itu mengawali kariernya di perusahaan kereta api pada masa penjajahan Belanda. Dia pun menyelesaikan pendidikan khusus perkeretaapian.

 

Saat pendidikan menjadi kepala stasiun kereta api, itu Soedarjo mengasah kemahiran berbahasa Belanda dan berbahasa Inggris. Keahlian dan kemahiran berbahasa Belanda dan Inggris itu mengantarnya untuk menggantikan orang Belanda memimpin stasiun kereta api Bogor, pada usia 26 tahun. Setelah itu, dia pun memimpin stasiun kereta api di Sukabumi dan di Jakarta, pada zaman pendudukan Belanda.

Soedarjo juga berkesempatan memimpin Kereta Api Kepresidenan RI. Ketika itu, pada suatu malam hari di akhir Desember 1945, dia ikut dalam usaha penyelamatan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta serta sejumlah menteri dari Jakarta ke Yogyakarta, setelah Jakarta dianggap tidak aman bagi para pemimpin RI.

Bersama teman-temannya, dia melangsir mundur gerbong-gerbong kereta api dari Stasiun Manggarai, untuk dihentikan tepat di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Gedung Pola). Bung Karno dan para pemimpin Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu naik ke gerbong, dan kemudian dilarikan ke Yogyakarta. Semua dilaksanakan dengan hati-hati, tanpa lampu, agar tidak ketahuan Pasukan Sekutu! Atas jasa itu, pemerintah menganugerahi Satya Lencana Wirakarya sebagai pejuang (1944-1952).
 

Namun, dalam usia 30 tahun, dia meninggalkan jabatan yang sangat terhormat untuk pribumi kala itu. Sejak 1952, dia memilih menapaki perjalanan hidup dalam dunia bisnis. Dia memulai usaha sebagai broker karet. Kemudian merambah ke bisnis kopi. Bahkan tiga tahun kemudian, dia sudah mengikuti kegiatan bursa lelang di Jerman dan Belanda.

 

Perusahaannya pun makin berkembang hingga menangani berbagai bidang, yakni ekspor, impor, industri, pertanian dan perkebunan, asuransi, industri pers, perbankan, dan industri farmasi. Di antaranya mengelola perkebunan karet Tigaraksa di Balaraja. Tahun 1954 mendirikan PT Indonesia Brokers Association Jakarta.

 

Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Rumah Sakit PGI Cikini, itu meraih sukses dalam bisnis tanpa mendapat fasilitas khusus apa pun dari pemerintah. Sehingga dia dijuluki "pejuang pengusaha dan pengusaha pejuang".

Seraya tetap menggeluti bisnisnya di berbagai bidang termasuk perkebunan yang berlokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur, Soedarjo mulai terjun ke usaha penerbitan, pada 1977, atas ajakan HG Rorimpandey (almarhum) dan teman-temannya. Bergabung di Harian Sinar Harapan dan mendirikan percetakan PT Sinar Agape Pers.

 

Dia menjabat Presiden Komisaris PT Sinar Kasih, yang menerbitkan Sinar Harapan (diberangus pemerintah Oktober 1986), Mutiara, 1983 - 2000 serta komisaris di PT Sinar Agape Press (percetakan untuk harian Sinar Harapan) 1971-1977. Juga menjabat Komisaris PT Sitra Express, 1978 - 2001, dan Komisaris PT Pustaka Sinar Harapan, 1981 - 2000.

 

Kemudian 1987 - 1998 menjabat Presiden Direktur PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara Pembaruan, pengganti Sinar Harapan, sekaligus menjabat Pemimpin Perusahaan koran sore tersebut. Juga menjadi Presiden Komisaris PT Radio Pelita Kasih.

 

Kendati kesibukannya di dunia usaha pers, Soedarjo tetap aktif mengembangkan usahanya di bidang perkebunan, perkapalan, perbankan, serta pernah beberapa kali memimpin Rumah Sakit PGI Cikini, dan Yayasan Universitas Kristen Indonesia. Sebagai importir dia yang memperkenalkan mesin-mesin percetakan untuk koran Solna Printing. Soedarjo menekuni dunia pers sampai akhir hayatnya.

 

Kebahagiaan Keluarga
Soedarjo juga dikenal sebagai kepala rumah tangga yang sukses memimpin keluarga. Anak-anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan, dan sebagian mengikuti jejaknya menjadi pengusaha. Dari ketujuh anaknya (lima pria dan dua perempuan), Soedarjo dikaruniai 19 cucu.

Pada hari tuanya, cucu-cucunya menjadi salah satu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri baginya. Kepada cucunya, dia menerapkan pendidikan dan bimbingan yang pernah ia terima dari kakeknya, seorang guru jemaat di GKI Kwitang, Jakarta Pusat.

Di kalangan aktivis gerakan oikoumene, Soedarjo dikenal sebagai dermawan, donator, yang tak segan mengulurkan tenaga, waktu dan dana. Ia memberikan perhatian kepada semua kalangan, tanpa pernah membedakan latar belakangnya.

Soedarjo pernah menjabat Ketua Panti Jompo Doorkas, Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Ia aktif dalam proyek pembangunan gereja, khususnya GKI Kebayoran Baru Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Hingga akhir hayatnya, Soedarjo tercatat sebagai Ketua Yayasan Kesehatan PGI Cikini, yang dijabatnya sejak 1983.

Soedarjo bekerja di ladang Tuhan hingga akhir hayat. Suatu doa yang dia panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih sejak lama, selain pengucapan syukur yang tiada berkeputusan, dan dikabulkanNya.
 

Kisah Sang Dermawan
Harian Suara Pembaruan pada penerbitan Kamis 19 Januari 2006 menyajikan sepenggal kisah tentang kelembutan, kebersahajaan dan kedermawanan Soedarjo. Kisahnya tentang seorang sopir truk, yang mungkin mengantuk, telah menabrak pagar rumah di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

 

Hari masih pagi benar. Saat itu, arus lalu lintas belum sepadat sekarang. Bunyi tabrakan bukan membuat satpam di rumah itu keluar. Warga sekitar pun berdatangan. Sementara si sopir turun, dan berniat bertemu si pemilik rumah. Terbayang sudah, dia harus mengganti kerusakan pagar akibat kecerobohannya. Tak terkira jumlah uang yang harus dibayar dari gajinya yang tak seberapa.

Maklum, si sopir tak menyadari berurusan dengan siapa. Meskipun tak kenal, dia yakin pemilik rumah di jalan Wijaya itu pasti bukan orang sembarangan. Tak ayal lagi, saat bertemu muka, sopir truk langsung memeluk kaki sang pemilik rumah.

Dengan wajah memelas, sopir itu mengiba maaf. Sedetik, dua detik, tak ada sumpah serapah. Tak ada caci maki. Empunya rumah, malah bertutur halus, menanyakan asal-usul si sopir, arah tujuannya, dan pertanyaan-pertanyaan sepele lain.

Alih-alih terkena marah, si sopir bahkan disuguhi air minum hangat. Bahkan sarapan! Lebih mengagetkan lagi, si empunya rumah memberinya amplop berisi uang, untuk memperbaiki moncong truknya yang rusak akibat menyeruduk pagar tembok itu.

Kisah sopir truk hanya salah satu banyak kisah kedermawanannya. Masih banyak kisah yang lain, yang tak sampai di telinga orang. Soedarjo memang identik dengan kedermawanan. Bagi anggota keluarga Sinar Group, Soedarjo, yang akrab dipanggil Pak Darjo, memang dikenal dan akan terus dikenang sebagai pribadi yang sangat kebapakan, welas asih, sabar, dan penuh perhatian.

Menurut Julia Yewangoe dan Joyce Tampemawa, sekretaris yang lama melayani Soedarjo di PT Sinar Agape Press, "Bantuan yang diberikan bukan hanya terbatas pada kalangan yang dikenal atau akrab dengan beliau, tetapi juga kepada orang yang belum atau tidak beliau kenal. Setiap menjelang Natal, surat-surat permohonan dari seluruh Indonesia memenuhi meja beliau. Dan, boleh dikata semuanya dijawab dan disumbang oleh beliau, sampai-sampai kami layaknya kantor sosial saja yang menyalurkan sumbangan."


Permohonan bantuan terus datang, bahkan sampai Soedarjo pensiun. Uniknya, permohonan itu masih dilayani. Walaupun pernah diingatkan tentang benar tidaknya pemohon sungguh-sungguh memerlukan sumbangan itu, Soedarjo tetap melayaninya.

"Benar atau tidak, biar saja, itu urusannya dengan Tuhan," kata Julia maupun Joyce menambahkan. Dalam setiap kesempatan, Soedarjo memang menekankan kejujuran kepada karyawannya.

"Perhatiannya kepada karyawan sangat besar. Setiap bepergian ke luar negeri, tak usah jauh-jauh, ke Singapura pun, selalu membawakan oleh-oleh. Bahkan sepotong cokelat pun, selalu ada, dan selalu dibagi rata," kata Ria Losung, sekretaris direksi di lingkungan Sinar Group yang juga lama bekerja sama dengan Soedarjo.

Ria menambahkan, beruntung atau tidak, ia mungkin satu-satunya orang yang pernah melihat dan mendapati Soedarjo marah. "Baru sekali itu saya melihat wajahnya memerah menahan marah.

Beliau mengeluarkan unek-unek, lebih sebagai keluhan daripada makian. Itu terjadi ketika beliau terlibat dalam perjuangan yang memakan waktu, tenaga, pikiran, dan dana, untuk menerbitkan kembali koran, setelah Sinar Harapan dibredel pada Oktober 1986," katanya. ►e-ti/tsl, dari berbagai sumber


*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Search site